Sumber Gambar : Humas Greenpeace |
Laporan Kualitas Udara Dunia ke-6 telah dirilis, mengungkapkan gambaran yang detail tentang tingkat pencemaran udara global pada tahun 2023. Data-data ini memberikan sorotan pada negara-negara dan wilayah-wilayah yang paling terdampak oleh masalah ini, menggambarkan tantangan yang nyata yang dihadapi dunia.
Laporan ini disusun dengan data yang diperoleh dari lebih dari 30.000 stasiun pemantauan kualitas udara, tersebar di 7.812 lokasi di 134 negara dan wilayah. Analisis dilakukan oleh para ilmuwan kualitas udara dari IQAir, yang memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi udara global.
Temuan utama dari Laporan Kualitas Udara Dunia 2023 antara lain:
- Hanya tujuh negara yang berhasil memenuhi pedoman PM2,5 tahunan dari WHO, dengan rata-rata 5 µg/m3 atau kurang. Negara-negara tersebut termasuk Australia, Estonia, Finlandia, Grenada, Islandia, Mauritius, dan Selandia Baru.
- Lima negara yang paling terpapar polusi pada tahun 2023 adalah: Bangladesh, Pakistan, India, Tajikistan, dan Burkina Faso. Tingkat PM2,5 di negara-negara ini melampaui standar WHO sebanyak 9-15 kali.
- Sebanyak 124 dari 134 negara dan wilayah, atau sekitar 92,5%, melampaui nilai pedoman PM2,5 tahunan WHO.
- Faktor-faktor seperti kondisi iklim dan kabut asap lintas batas menjadi penyumbang utama peningkatan konsentrasi PM2,5 di Asia Tenggara, dengan hampir setiap negara di kawasan tersebut mengalami peningkatan.
Di tengah gambaran global ini, Jakarta, ibu kota Indonesia, menempati peringkat ketujuh sebagai kota paling tercemar di dunia. Konsentrasi PM2,5 di Jakarta melebihi standar WHO sebanyak 8 kali lipat, mencapai 43,8 µg/m3. Sementara itu, Indonesia, secara keseluruhan, masih menempati posisi teratas sebagai negara paling terpapar polusi di Asia Tenggara. Kota Tangerang Selatan bahkan meraih peringkat pertama sebagai kota paling tercemar di kawasan ini, dengan konsentrasi PM2,5 mencapai 71,7 µg/m3.
Menanggapi temuan ini, Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, menegaskan perlunya tindakan segera.
"Pengendalian pencemaran udara harus diatasi dari sumber emisinya yaitu emisi kendaraan dan industri, kemudian secara bersamaan memperbanyak transportasi umum massal berbasis listrik dan segera beralih ke sumber energi terbarukan," tegasnya.
Tidak hanya itu, Aidan Farrow, Ilmuwan Senior Kualitas Udara dari Greenpeace Internasional, menyoroti urgensi kerjasama global dalam penanganan krisis ini.
"Laporan tahunan IQAir menggambarkan sifat internasional dan konsekuensi yang tidak adil dari krisis polusi udara yang berkepanjangan. Upaya lokal, nasional, dan internasional sangat diperlukan untuk memantau kualitas udara di tempat-tempat yang kekurangan sumber daya, mengatasi penyebab kabut asap lintas batas, dan mengurangi ketergantungan kita pada pembakaran sebagai sumber energi," ujarnya.
Kesadaran akan hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan menjadi semakin penting. Data kualitas udara adalah alat penting untuk mencapai tujuan tersebut. Saat kita memahami realitas dari laporan ini, langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk meningkatkan kualitas udara global, demi kesehatan dan kesejahteraan bersama.
0 Comments